Matematika untuk Balita
Pendahuluan dan Latar Belakang
Pada mata
kuliah psikologi belajar mengajar matematika, tentunya dipelajari bagaimana
proses belajar dan proses mengajar serta kaitan keduanya. Sebagaimana diuraikan
dalam Ruseffendi (2006: 108) bahwa teroi belajar ialah teori yang berkenaan
dengan kesiapan siswa belajar, anak sudah dapat apa saja pada usia tertentuitu.
Sedangkan teori mengajar berkenaan dengan cara mengajar, bagaimana sebaiknya
mengajar anak yang sudah mampu belajar sesuatu itu.
Hingga
saat ini telah banyak teori belajar dan teori tentang mengajar yang dikemukakan
oleh pakar-pakar pendidikan di dunia. Hanya saja, sesungguhnya karakteristik
atau keadaan pendidikan di semua tempat tidak serupa sehingga sebaiknya setiap
pendidik memiliki teori belajar yang sebenarnya sesuai dengan keadaan di tempatnya
tidak hanya menggunakan teori belajar orang lain. Hal ini bertujuan agar
terhindar dari ketidaktahuan atau kekeliruan yang mungkin merusak dan agar
tidak terjadi proses penentangan pembaharuan. (Ruseffenfi, 2006 : 108-109)
Teori-teori
belajar dan pembelajaran yang dikemukakan oleh berbagai pakar sangat banyak dan
bervariasi, hanya saja teori-teori tersebut diperoleh melalui serangkaian
penelitian yang dilakukan pada subyek di tempat mereka masing-masing atau di
negara mereka yang tentunya memiliki karakteristik yang berbeda dengan yang
terdapat di Indonesia atau pada konteks lokal. Berdasarkan fakta tersebut maka
dalam makalah ini akan dikaji melalui penelitian mini bagaimana teori
pembelajaran yang sudah pernah diteliti oleh pakar seperti Dienes dapat
diaplikasikan pada konteks terbatas atau lokal di sekitar kita.
Teori Piaget dan Teori Dienes
Salah seorang pakar psikologi perkembangan yang paling berpengaruh dalam
sejarah psikologi dan pendidikan adalah Jean Piaget yang lahir di Swiss pada
tahun 1896. Menurut Piaget, perkembangan kognisi anak dan remaja terbagi
menjadi empat tahap yaitu:.Sensorimotor(sejak lahir hingga sekitar 2 tahun),
praoperasional (sekitar 2 tahun hingga 7 tahun), operasional konkret (sekitar 7
tahun hingga sekitar 11 atau 12 tahun), dan operasional formal (sejak sekitar
11 tahun hingga dewasa).
Berdasarkan Ruseffendi (2006:149-150) konsep-konsep matematika yang
mulai dipahami anak ada di sekitar tahap praoperasi sebagaimana tertulis
sebagai berikut:.
1.
Tahap sensorimotor (0 – 2 tahun);belum
ada.
2.
Tahap preoperasi (2 – 7 tahun).
a.
Tahap berfikir prekonseptual (2 – 4
tahun): belum ada.
b.
Tahap berfikir intuitif (4 – 7 tahun):
geometri topologi, kekekalan bilangan, pengelompokkan sederhana, mengurutkan, kekekalan panjang, pengukuran panjang, kekekalan luas,
kekekalan materi, bilangan kardinal,
bilangan ordinal, korespondensi, himpunan komplementer, himpunan sama
(ekivalen), himpunan-himpunan bagian,
penjumlahan, peluang, probabilitas, kombinasi, permutasi sejajar (horisontal), tegak lurus (vertikal), bentuk geometri Euclid sederhana, irisan
himpunan, gabungan himpunan, semua, beberapa, transitivitas.
Paparan di atas secara tidak langsung memberikan gambaran bahwa
konsep-konsep matematika baru memungkinkan untuk dikenalkan pada anak di tahap
preoperasi yaitu usia 2 – 7 tahun. Pada tahap ini menurut Ruseffendi (2006:
135) dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu tahap berpikir prekonseptual
(2 – 4 tahun) dan tahap berpikir intuitif (4 – 7 tahun). Anak pada tahap
prekonseptual memungkinkan representasi sesuatu itu dengan bahasa, gambar, dan
permainan khalayan. Sedangkan anak pada tahap berpikir intuitif memiliki
penilaian dan pertimbangan didasarkan kepada persepsi pengalaman sendiri, tidak
kepada penalaran.
Tokoh lain, yaitu Dienes mengemukakan teori tentang pengajaran
matematika yang didasarkan pada teori Piaget tentang tahap-tahap perkembangan
mental manusia. Menurut Dienes, pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan
bermain. Dia menulis buku yang berjudul Let’s
Play Math bersama dengan Holt yang berisi tentang permainan-permainan
matematika yang dapat dimainkan sejak anak usia dini.
Pada buku Let’s Play Math Dienes
dan Holt (1973:12) mengemukakan :
“Child psychologists have been astonished to
find how much a very young child is capable of learning. If he can learn to
speak, single-handed and without a teacher, by the time he is two years, no
wonder he can learn so much more than was once thought possible. The secret
lies in catching him young enough before his mind 'hardens'. Experience shows
that youngsters, if started young enough, can learn such seemingly 'way-out'
things as logical reasoning, mathematical patterns and how words are put
together. It is such ideas that are built into the structure of our games.”
Para psikolog anak telah berusaha mencari cara agar anak yang masih
sangat muda (anak kecil) mampu belajar. Jika anak-anak kecil tersebut dapat
berbicara, sendiri tanpa seorang guru, ketika usianya dua tahun, tidak
mengherankan bahwa anak tersebut dapat belajar lebih dari apa yang pernah
dipikirkan. Rahasianya terletak pada menangkap mereka semuda mungkin sebelum
pikirannya mengeras (maksudnya adalah mengajarkan mereka matematika semuda
mungkin sebelum ia menjadi bebal). Pengalaman menunjukkan bahwa anak-anak kecil
tersebut, jika dimulai sedini mungkin, dapat belajar sesuatu yang sepertinya
merupakan ‘jalan keluar’ dari sesuatu sebagai sebuah penalaran logis, pola-pola
matematika, dan bagaimana kata-kata dirangkai bersama. Ini adalah ide yang
dibangun melalui struktur permainan kami.
Dari tulisan tersebut dapat disimpulkan bahwa Dienes dan Holt
berpendapat bahwa untuk membuat anak senang belajar dapat dimulai sedini
mungkin dalam pendapat tersebut, dapat dimulai sejak usia 2 tahun sebelum
pikiran anak menjadi mengeras atau sulit diajarkan. Alasannya adalah bahwa pada usia tersebut
anak pada dasarnya dapat bicara sendiri tanpa dengan sengaja diajarkan oleh
guru. Dengan mengajak anak-anak sedini mungkin belajar diharapkan dapat belajar
lebih baik selanjutnya. Hal ini juga dapat dilihat dari tulisan Sriraman, B dan
Lesh, R (2007: 60-61) dalam wawancara dengan Dienes langsung sebagai berikut:
Sriraman: Yes, particularly the
innovative experiments you set up, which inves-tigate reasoning about
isomorphic structures such as groups. … Do you still believe this is the way to
teach mathematics, especiallyknowing that mathematics has become more and more
applied intoday’s world compared to the 50’s and 60’s?
Dienes: Well! It depends on what
you think is important and what one isafter. Mathematics is characterized by
structures, there is no deny-ing this fact and in my opinion it is important to
expose students tothese structures as early as possible. This does not mean we
tellthem directly what these structures are but use mathematical gamesand other
materials to help them discover and understand thesestructures. You have read
about my theory of the six stages of learn-ing [see Dienes, 2000b]. And in this
theory, the formalization stagecomes at the very end.
Sriraman: As you know, there have
been theorists who think that such topicsare too difficult at earlier
developmental stages—although yourwork indicates otherwise. Piaget, for
instance thought this type ofthinking (structural thinking) was only possible
at the stage offormal operations.
Dienes: Children do not need to
reach a certain developmental stage toexperience the joy, or the thrill of
thinking mathematically andexperiencing the process of doing mathematics. We
unfortunatelydo not give children the opportunities to engage in this type
ofthinking. One of the first things we should do in trying to teach alearner
any mathematics is to think of different concrete situationswith a common
essence. (These situations) have just the propertiesof the mathematics chosen.
Then … children will learn by actingon a situation. Introducing symbolic
systems prematurely shocks the learner and impedes the learning of
mathematics.Sriraman: What are your thoughts on Piaget’s theory?
Dienes dan Holt (1973) mengemukakan ide mengajarkan matematika dimulai
sedini mungkin pada anak-anak melalui permainan yang dirancang sedemikian rupa
untuk mengenalkan konsep-konsep matematika. Namun demikian, apa yang dilakukan
mereka bukan merupakan jaminan bahwa anak akan langsung dapat menguasai
matematika, tetapi setidaknya jika pun tidak dapat tercapai tujuan ini,
permainan-permainan yang disajikan pada buku ini sangat menyenangkan untuk
dimainkan bersama anak-anak seperti yag dituliskan berikut:
“Now we are not suggesting our games will really teach
a child math. But classroom experience indicates they encourage an alert,
open-minded attitude in youngsters and help them develop their potential for
clear thinking. Even more important - the games are fun to play.”
Dienes dan Holt (1973:12)
Dalam buku terbut, terdapat 10 macam permainan yang sudah dicobakan oleh
Dienes dan Holt. Berikut adalah kesepuluh macam permainan tersebut: (1)Sorting Games ; (2)Ping-Pong Puzzles ;(3) Secret
Signs and Codes ;(4) Drawing,
Painting and Cutting-out Games; (5)Maze
and Dance Games; (6) Linking-up Card
Games; (7) Ordering Games; (8) Time Games; (9) Number Games; dan (10)Pebble
Games.
Dalam makalah ini akan diujicobakan permainan jenis (1) Sorting Games
pada anak berusia 2 - 3 tahun untuk menguji pernyataan Dienes dan Holt (1973)
yang menyatakan bahwa pembelajaran matematika dapat dimulai sedini mungkin
melalui permainan. Tentu saja jika hal ini dikaitkan dengan teori tahap-tahap
pembelajaran matematika Dienes maka dari keenam tahap tersebut pada percobaan
kali ini hanya akan sampai pada tahap ke tiga yaitu tahap mencari persamaan
sifat karena anak pada usia 2 – 3 tahun menurut Piaget (dalam Ruseffendi, 2006:
135) masih masuk ke dapam tahap berpikir prekonseptual yang merupakan bagian
dari tahap preoperasi. Selain itu dalam Ruseffendi (2006:149) juga dipaparkan
bahwa pada tahap prekonseptual belum ada konsep matematika yang mulai dapat
dipahami anak, oleh karena itu pada kesempatan ini ujicoba dilakukan untuk
mengkaji tentang konsep warna dan bentuk pada anak usia 2 – 3 tahun dengan
memanfaatkan modifikasi permainan “penyortiran” yang dikemukakan oleh Dienes
dan Holt (2006:49-52).
Berdasarkan teori Dienes, terdapat 6 tahapan dalam pembelajaran
matematika seperti yang diuraikan oleh Ruseffendi (2006) yaitu:
1.
Tahap Bermain Bebas
Tahap ini adalah tahap permulaan anak-anak belajar matematika. Anak-anak
bermain dengan benda-benda konkrit model matematika. Aktivitas belajar pada
tahap ini tidak terstruktur, bebas dan tidak diarahkan. Melalui bermain bebas
dengan menggunakan benda-benda konkrit model matematika, secara tidak sengaja
atau tanpa diarahkan siswa berkenalan dengan konsep-konsep matematika melalui
benda-benda tersebut. Pada tahap ini anak mulai mempersiapkan diri dalam
membentuk struktur mental dan sikap terhadap konsep matematika.
Penggunaan benda-benda atau model matematika yang bervariasi dan banyak
akan mempengaruhi pengalaman anak. Dengan demikian guru perlu menyediakan
benda-benda konkrit yang memiliki konsep matematika dalam jumlah yang banyak
dan bervariasi.
2.
Tahap Permainan
Tahap ke dua ini merupakan kelanjutan dari tahap bermain bebas, pada
tahap ini anak sudah mulai mengamati pola, kesamaan atau ketidaksamaan,
keteraturan atau ketidakteraturan tentang suatu konsep yang diwakili oleh benda-benda
konkrit. Keteraturan yang diperoleh anak pada satu konsep bersifat unik atau
tidak terdapat dalam konsep yang lain. Diharapkan melalui permainan konsep
dapat tertanam dalam pikiran anak. Dengan demikian mutu dari permainan tersebut
sangat menentukan kebenaran dan banyaknya konsep yang dapat dipahami anak.
3. Tahap Mencari Persamaan Sifat (Searching Communalities) Pada tahap bermain bebas dan permainan anak
belum terarah dalam bermain. Pada tahap ini anak mulai belajar menemukan
kesamaan-kesamaan melalui bimbingan guru atau pengajar. Guru atau pengajar
mengarahkan anak-anak dengan menstranlasikan kesamaan struktur dari bentuk
permainan lain. Pada tahap ini pula diharapkan anak dapat membedakan mana yang
merupakan contoh dan bukan contoh. Contoh kegiatan yang diberikan dengan
permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi
panjang yang tebal, anak diminta mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari
benda-benda dalam kelompok tersebut (anggota kelompok).
4.
Tahap Representasi
Pada tahap ini anak menentukan representasi dari konsep tertentu yang
merupakan hasil dari pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis,
yaitu hasil yang telah ditemukan pada tahap sebelumnya. Representasi dari
konsep ini bersifat sudah abstrak dapat berupa diagram atau lisan.
5.
Tahap Penyimpulan
Setelah anak dapat merepresentasikan konsep pada tahap sebelumnya,
dilanjutkan dengan belajar membuat simbol dari representasi tersebut. Pada
awalnya siswa diberikan kesempatan untuk membuat simbolnya sendiri, tetapi demi
keseragaman pada akhirnya guru mengenalkan simbol yang baku atau yang sesuai
dengan konvensi dalam matematika.
6.
Tahap Formalisasi
Tahap penyimpulan atau sering juga disebut sebagai tahap simbolisasi
biasanya terjadi dalam waktu yang cukup panjang dan berulangkali. Pada tahap
ini diharapkan anak sudah dapat mengorganisasikan konsep-konsep matematika
secara formal hingga sampai pada aksioma, dalil, atau teorema.
Berdasarkan “Sorting Games” menurut Dienes dan Holt (1973) untuk
permainan ini diperlukan beberapa syarat diantaranya:
Berikan pertanyaan berikut:
1.
Apakah anak Anda sudah dapat membedakan
sesuatu objek seperti “yang bukan” contohnya “yang bukan merupakan hari ulang
tahun”?
2.
Apakah anak Anda sudah bisa menyortir
sesuatu dengan rapi dan berdasar pola tertentu?
Jika jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut “ya” maka permainan ini
sudah tidak cocok lagi buat anak tersebut.
Dalam buku tersebut permainan ini ditujukan untuk anak usia 4-5 tahun ke
atas, dengan memanfaatkan benda-benda disekitar anak, seperti alat-alat dapur
atau mainan anak. Dalam ujicoba ini, subyek penelitian adalah anak berusia 2 –
3 tahun dan intrumen penelitian berupa benda-benda geometris beraneka bentuk
dan warna, seperti kubus, bola, prisma segitiga dengan warna merah, hijau,
kuning, oranye dan lain-lain.
Adapun langkah-langkah permainan sebagai berikut :
Tujuan yang diharapkan dari hasil permainan adalah anak memahami konsep
warna, anak dapat membedakan warna merah, hijau, dan kuning, anak dapat
mengelompokkan benda berdasarkan warnanya.
1.
Permainan Bebas
Anak diberikan mainan sebagai instrumen yang terdiri dari berbagai
bentuk dan warna. Anak diberikan kebebasan untuk bermain dengan mainan tersebut
selama 5-10 menit pertama.
2.
Permainan
Anak mulai memperhatikan kesamaan-kesamaan atau keteraturan-keteraturan
pada mainan-mainan tersebut. Tahap ini berlangsung pada menit 10-15 setelah
tahap bermain bebas.
3.
Mencari Persamaan Sifat
Pada tahap ini guru atau pengajar mengarahkan anak-anak dengan menstranlasikan
kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Pada tahap ini pula diharapkan
anak dapat membedakan mana yang merupakan contoh dan bukan contoh. Contoh
kegiatan yang diberikan dengan meminta anak untuk mengambil barang yang
warnanya bukan biru. Untuk melihat apakah anak sudah memahami konsep “biru”.
C.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada hari sabtu dan minggu 15 dan 16
Desember 2012 bertempat di RT. 002 RW. 020 Babut Girang Cihanjuang Cibabat Utara Cimahi. Subjek dalam penelitian ini seorang anak
berusia dua tahun lima bulan.
Instrumen dalam penelitian ini berupa serangkaian tugas dan pertanyaan
yang disertai dengan alat peraga konkrit berupa mainan yang berbentuk:
a.
Berbagai bangun geometris dengan warna
biru, oranye, hijau, dan kuning
b.
Lego dengan berbagai warna biru, merah
muda, hijau, kuning, dan oranye
c.
Kartu warna yang terdiri dari warna biru,
kuning, dan orange
Percobaan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Hari Pertama:
1.
Tahap Permainan Bebas
Subyek diberikan mainan berupa berbagai bentuk mainan berupa bangun
geometri dengan warna biru, hijau, kuning, dan oranye. Kemudian subyek
dibiarkan bermain dengan mainan tersebut tanpa diarahkan kuranglebih 5 menit.
2.
Tahap Permainan
Pada tahap ini anak mulai memperhatikan kesamaan yang terdapat pada
mainannya, pada kesempatan ini subyek muai mencermati bahwa mainan tersebut
terdiri dari berbagai warna dan berbagai bentuk.
3.
Tahap Mencari Persamaan Sifat
Subyek mulai diarahkan sesuai dengan tujuan permainan untuk mengenal
konsep warna. Kali ini dipilih konsep warna “biru”. Subyek diberi pertanyaan
atau perintah sebagai berikut:
a.
Apakah ini warna biru? (sambil memegang
objek berwarna biru, hijau, kuning, atau oranye)
b.
Yang mana objek berwarna biru? (dengan
mengajukan objek berbagai warna)
c.
Subyek diminta mengumpulkan objek berwarna
biru
d.
Subyek diminta mengelompokkan objek
berdasarkan warnanya
Hari ke-dua
4.
Tahap Permainan Bebas
Subyek diberikan mainan berupa berbagai bentuk mainan berupa bangun
geometri, lego, dan kartu dengan warna biru, hijau, kuning, dan oranye dengan
jumlah yang lebih banyak. Kemudian subyek dibiarkan bermain dengan mainan
tersebut tanpa diarahkan kuranglebih 5 menit.
5.
Tahap Permainan
Pada tahap ini anak mulai memperhatikan kesamaan yang terdapat pada
mainannya, pada kesempatan ini subyek mulai mencermati bahwa mainan tersebut
terdiri dari berbagai warna, pada kesempatan yang ke dua ini, subyek sudah
fokus pada warna objek.
6.
Tahap Mencari Persamaan Sifat
Subyek mulai diarahkan sesuai dengan tujuan permainan untuk mengenal
konsep warna. Kali ini dipilih konsep warna “biru”. Subyek diberi pertanyaan
atau perintah sebagai berikut:
a.
Apakah ini warna biru? (sambil memegang
objek berwarna biru, hijau, kuning, atau oranye)
b.
Yang mana objek berwarna biru? (dengan
mengajukan objek berbagai warna)
c.
Subyek diminta mengumpulkan objek berwarna
biru
d.
Subyek diminta mengelompokkan objek
berdasarkan warnanya dengan memasukkan objek dengan warna yang sama(biru) ke
dalam wadah yang disediakan.
Hasil dan Pembahasan
Hasil yang diperoleh
pada hari pertama adalah:
Tahap Bermain Bebas
Pada tahap ini subyek pertama kali melihat objek-objek geometris dengan
berbagai warna, dengan idenya sendiri menyusun bangun tersebut secara vertikal,
mengasosiasikan objek tersebut dengan bentuk “rumah”.
a.
Tahap Bermain
Subyek mulai melihat adanya wadah-wadah kosong, lalu memasukkan beberapa
objek tersebut ke dalam wadah-wadah kosong, namun belum melihat secara khusus
pada sifat-sifat kesamaan objek tersebut. Mengasosiasikan objek dengan
“makanan” dan wadahnya untuk memasaknya. Tetapi jika dicermati, subyek sudah
memasukkan objek tersebut ke dalam wadah-wadah dengan warna yang berbeda-beda
hanya saja masih bercambur. Seperti pada gambar terdapat percampuran warna biru
dengan hijau. Dan belum semua objek yang coba dimasukkan ke dalam wadah
b.
Tahap Mencari Persamaan Sifat
Pada tahap ini, peneliti mulai mengenalkan konsep warna “biru” dengan
menggunakan objek dan kartu.
Adapun
berikut adalah tabel dari deskripsi pertanyaan dan perintah serta respon
subyek:
Tabel 1. Respon Subyek atas Pertanyaan dan Perintah
Peneliti Pada Hari Pertama
No
|
Pertanyaan atau
Perintah
|
Respon Subyek
|
1.
|
Subyek ditanya “apakah objek ini berwarna biru” beberapa kali dengan
menunjukkan objek tersebut tepat ke hadapan subyek.
|
Subyek sudah dapat menentukan objek tunggal yang berwana biru dan
bukan berwarna biru.
|
2
|
Diberikan sekumpulan objek berwarna biru kepada subyek. Lalu subyek
diminta menunjukkan diantara seluruh objek, manakah objek yang berwarna biru
dengan menggunakan berbagai bentuk geometris dan menggunakan kartu warna.
|
Subyek dapat membedakan objek berwarna biru dari seluruh objek yang
diberikan dalam bentuk bangun geometris dan subyek dapat memlilih dengan
tepat kartu yang berwarna biru
|
3
|
Subyek diminta mengelompokkan semua objek berwarna biru dengan
memasukkannya ke dalam wadah tersendiri.
|
Pada awal perintah subyek masih terlihat sesekali mencampurkan objek
warna lain, namun kemudian di pertengahan baru mulai mengerti bahwa yang
diminta hanya mengumpulkan objek berwarna biru. Dan subyek dapat mengumpulkan
semua objek warna biru ke dalam wadah yang disediakan
|
4
|
Subyek diminta mengelompokkan objek-objek berwarna biru, oranye dan
kuning ke dalam wadah yang disesuaikan dengan warna kartu yang berada dalam
wadah tersebut.
|
Subyek mensortir warna biru saja lalu memasukkan ke dalam wadah berisi
kartu warna biru, namun kemudian objek warna biru juga dimasukkan ke dalam
wadah berisi kartu oranye dan kuning. Kemudian subyek malah memasukkan semua
objek ke dalam wadah-wadah tersebut tanpa melihat warnanya lagi.
|
Aktivitas Percobaan Tahap Mencari
Persamaan SIfat
Hasil yang diperoleh pada hari ke dua adalah :
a.
Tahap Bermain Bebas dan Tahap Permainan
Kedua tahap ini
berlangsung sangat cepat, karena pada hari ke dua subyek sudah mulai fokus
kepada identifikasi warna sejak pertama kali diajak bermain meskipun pada hari
ke dua objek ditambah jumlah dan variasinya dengan memanfaatkan lego aneka
warna.
b.
Tahap mencari Persamaan Sifat
Pada hari ke dua,
subyek sudah mulai fokus dalam mengelompokkan objek berdasarkan warna.
Berdasarkan hasil pengamatan subyek mulai lebih lancar dalam mensortir objek
berwarna biru dari seluruh objek yang diberikan. Terlihat dari gambar bahwa
seluruh objek berwarna biru dan oranye dapat dimasukkan ke dalam gerobak
sebagai wadah yang disediakan. Namun tetap saja pada hari ke dua subyek belum
dapat mengelopokkan semua objek berdasarkan warnanya masing-masing. Subyek baru
dapat mensortir satu warna dari keseluruhan objek yang ada.
Berikut adalah gambar
atau foto dari percobaan hari ke dua:
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada hari pertama dan kedua peneliti
melakukan analisis sebagai berikut:
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan awal diketahui memang subyek
pada awalnya belum memahami konsep warna khususnya warna biru dan oranye.
Sehingga melalui permainan ini diharapkan subyek dapat mengenal dan memahami
konsep warna paling sedikit satu warna yaitu, warna biru. Dari hasil permainan
pada hari pertama, diketahui subyek yang berada pada taha praoperasional
ternyata sudah dapat memahami warna biru, melalui permainan yang dicontohkan
dalam buku Dienes dan Holt (1973). Selain itu subyek juga langsung dapat
mensortir warna biru pada hari pertama,
hanya saja subyek belum bisa mengelompokkan objek berdasarkan warna.
Sedangkan pada hari ke dua, subyek selain dapat memahami warna biru,
ternyata juga dapat mehami warna oranye dan lebih lancar dalam mensortir objek
berdasarkan warna tertentu. Namun tetap belum dapat melakukan pengelompokkan
berdasarkan warna-warna yang berbeda dari sekumpulan objek yang diberikan.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil percobaan dan analisa yang
dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1.
Pendapat Dienes dan Holt (1973) yang
menyatakan bahwa pembelajaran pola dapat dikenal pada usia sedini mungkin
terbukti berlaku pula dalam percobaan ini. Subyek yang baru berusia 2 tahun 5
bulan sudah mulai memahami pola dengan dapat melakukan kegiatan mensortir objek
dengan warna tunggal dari seluruh objek yang berwarna-warni. Padahal dalam buku
Dienes dan Holt (1973) permainan disarankan untuk anak usia 4 – 5 tahun.
2.
Subyek pada usia 2 tahun 5 bulan, dalam
percobaan ini sudah dapat mensortir dan membedakan objek yang “bukan memiliki
sifat tertentu” tetapi belum dapat melakukan pengelompokkan objek berdasarkan
warna-warna yang berbeda. Atau dapat dikatakan subyek baru dapat melakukan
pensortiran pada objek dengan warna yang sama.
3.
Sebagaimana diungkapkan dalam Ruseffendi
(2006; 149) anak pada usia 2 – 4 tahun memang belum dapat diajarkan konsep
matematika namun sudah mulai dapat diajarkan pola-pola sederhana yang dapat
menjadi dasar untuk berpikir matematika pada tahap selanjutnya seperti
kemukakan oleh Dienes dan Holt (1973).
4.
Anak usia dini sekitar 2 tahun lebih sudah
mulai dapat mempelajari pola, hanya saja konsep harus diajarkan melalui
permainan yang dirancang sedemikian rupa dengan memanfaatkan objek-objek nyata
sebagai alat permainan yang bentuknya bervariasi dan jumlahnya cukup banyak. Kesimpulan
ini sesuai dengan tulisan Slavin (2008: 41) yang menyatakan bahwa perkembangan
terjadi dalam langkah yang mulus karena kemampuan berkembang dan pengalaman
disediakan oleh orangtua dan lingkungan. Teori ini menekankan peran penting
lingkungan dalam menentukan perkembangan seorang anak.
Daftar Pustaka
Dienes, Z dan Holt, M.
(1973). Let’s Play Math. New York: Walker and Company
Ruseffendi, E, T.
(2006). Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan
CBSA. Bandung: Tarsito.
Slavin, R. 2008. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek (edisi
kedelapan). Jakarta: Indeks.
Sriraman, B dan Lesh,
R. (2007). Leaders in Mathematical Thinking & Learning- A conversation with
Zoltan P. Dienes. Mathematical Thinking
and Learning: An International Journal,9(1), 59-75. Lawrence Erlbaum
Associates.